Selasa, 27 Januari 2009

FUNGSI DPR

Barangkali Sebagian dari kita banyak yang Belum Tahu Apa Fungsi DPR . Dan mungkin Sebagian dari para Caleg yang ikut berkompetisi dalam pemilu 2009 juga Termasuk yang belum mengetahui akan fungsi DPR menurut UUD 1945 .

Saya kira DPR dimasa sekarang jauh lebih kuat dibanding masa lalu.Dimasa lalu DPR Hanya sebagai lembaga Stempel saja,sebab ia hanya sebagai simbol dan selalu berada dibawah kekuasaan para penguasahal senada pernah disampaikan oleh Mr.Amien Rais.Dengan kata lain mereka yang duduk diDPR tidak perlu punya Kemampuan besar, cukup dengan 3 DIVA alias Duduk,Diam dan Duit.

Kalau DPR sekarang Dituntut Punya Abilty dan morality yang diatas rata-rata.
Sebab ia punya tugas yang sangat besar ,mulia dan terhormat.Kini Ia tidak lagi menjadi lembaga stempel pemerintah,tapi wakil rakyat yang punya 3 fungsi besar seperti yang dijabarkan oleh UUD 1945 Pasal 20A Hasil dari perubahan(amademen) yaitu:

1.Fungsi Anggaran

2.Fungsi Legislasi

3.Fungsi Pengawasan


Dengan Besarnya Fungsi dan tugas diamanatkan oleh Undang-Undang maka sudah sepatutnya pula para Caleg yang akan berkompetisi dalam memperebutkan kursi anggota DPR terdiri dari para wakil rakyat yang berkualitas.Kualiats yang kita maksud adalah mereka yang punya ability dan morality yang sangat memadai. Memang setiap orang punya hak dipilih atau memilih, tetapi Akan lebih baik jika yang kita pilih org yang berkualitas.Namun pilihan yang berkualitas berasal dari pemilih yang jg berkualitas /Pemilih cerdas.






Sabtu, 17 Januari 2009

Pembantaian Di Gaza (Massacre in Gaza)


Perang Yang terjadi Di wilayah Gaza Palestina Telah Banyak Membunuh Anak-anak dan kaum Wanita Disana .PBB Tidak punya Kekuatan untuk menghentikan Pembantaian yang dilakukan Oleh tentara Zionis Israel terhadap bangsa Pelestina.Tiap Saat nyawa para syuhada berguguran dan bergelimpangan akibat dibombardir.Airmata dan darah yang mengalir tak membuat tentara Zionis menghentikan pembantaian.

Kutukan Dunia tidak dapat menghentikan kebiadaban yang sering kita saksikan dari berbagai siaran televisi dunia spt dari aljajeera.Dari amerika latin Venezuela dan Bolivia mengutuk dan memutuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel tapi bangsa Arab yang mengaku sebagai saudara sibuk dengan KTT saja.Bahkan Mesir dan Arab saudi malah tidak bersedia hadir di Doha Qatar. untung masih ada dari bangsa arab yang punya nyali spt Qatar yang memutuskan berbagai hubungan diplomatik dengan Israel.

Pemimpin Arab spt mesir dan Arab Saudi tidak memberikan konstribusi yang berarti buat perdamaian ditimur tengah.Mungkin karena dinegara ini Demokrasi adalah sesuatu langka dan hidup dari dua negara ini sangat tergantung dengan Amerika Serikat sehingga tidak berani terhadap Israel. bersambung.........

Rabu, 14 Januari 2009

Politisi Busuk


Diposkan oleh SYAHMINAN /ABAU

narasumber
Jadilah Pemilih Cerdas

December 26, 2008 by R. Dachroni
Filed under Opini

OLEH: R. DACHRONI

Presiden BEM STISIPOL Raja Haji / Fisip Umrah dan Wapimred Tabloid Suara Mahasiswa

www.bem-fisip-umrah.co.cc

Tahun 2009 sudah dipelupuk mata, selain membuka lembaran baru dalam menyongsong masa depan yang lebih baik dan di tahun ini kita juga menentukan nasib bangsa lima tahun mendatang melalui momentum Pemilu 2009. Golput memang adalah sebuah pilihan politik karena kekecewaan terhadap kinerja parpol yang relatif buruk.

Namun dalam kehidupan demokrasi seperti saat ini, Golput bukanlah pilihan cerdas karena bertentangan nilai-nilai kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai patriotisme dan negarawan. Jadi yang harus dilakukan masyarakat saat ini adalah memilih untuk menjadi pemilih cerdas yang memilih berdasarkan kompetensi caleg bukan karena iming-iming materi yang dijanjikan oleh caleg. Jadilah pemilih cerdas bukan menjadi pemilih korban oknum caleg yang culas.

Jangan Pilih Politisi Busuk

Salah satu indikator caleg yang dapat diberikan stempel politisi busuk adalah caleg yang memberikan sejumlah uang kepada sekelompok komunitas untuk memilihnya pada pesta demokrasi kelak. Adanya politisi busuk tidak lain disebabkan oleh sistem pengkaderan yang lemah di parpol. Disamping itu, sebagian parpol juga asal comot para caleg dengan membuka pendaftaran seluas-luasnya kepada masyarakat tanpa menentukan standar khusus agar caleg-caleg yang diusung adalah caleg-caleg yang berkualitas. Sejauh mana kemampuan mereka dalam memahami perundangan-undangan dan menyikapi permasalahan-permasalahan daerah sebenarnya adalah prioritas utama yang patut untuk ditanyakan bukan berapa anggaran yang mereka berikan ke partai jika mereka ditempatkan di nomor jadi.

Fenomena seperti inilah yang kemudian melahirkan politisi-politisi busuk. Politisi yang siap membayar atau menyewa parpol untuk ambisi pribadinya. Sulit rasanya menemukan politisi yang benar-benar memperjuangkan nasib masyarakat di zaman yang hedonis saat ini. Meskipun demikian, penulis tidak katakan bahwa semua politisi itu busuk sebab busuknya politisi itu sebenarnya dapat dilihat dari enam kategori seperti yang diungkapkan oleh Koordinator JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang juga merupakan Koordinator Ganti (Gerakan Anti) Polbus (Politisi Busuk) Jeirry Sumampouw.

Pertama, boros, tamak, dan korup. Kedua, penjahat dan pencemar lingkungan. Ketiga, pelaku kekerasan HAM atau yang memberikan perlindungan bagi pelanggar HAM. Keempat, pelaku kekerasan terhadap KDRT dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. Kelima, pemakai narkoba dan pelindung bisnis narkoba, dan keenam, pelaku penggusuran dan tindakan yang melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan politik kaum petani, buruh serta rakyat miskin kota.

Dilihat dari aspek teologis atau moralitasnya, penulis justru mempunyai definisi yang lebih sederhana tentang politisi busuk. Politisi busuk adalah politisi yang tidak menjalankan segala apa yang telah diperintah-Nya dan politisi yang menjalankan apa yang telah dilarang-Nya khususnya yang terkait dengan kemaslahatan umat seperti tidak peduli dengan kemiskinan (hanya peduli menjelang Pemilu 2009). “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka (disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka memiliki semua yang ada di bumi (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman mereka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS. Ar-Rad: 18).

Tanpa melihat latar belakang agamanya yang penting dia masih mengakui eksistensi Tuhan dalam kehidupannya, busuknya politisi seperti ini dapat dilihat dari aktifitas kesehariannya. Pertama, dia tidak menjalankan aktifitas ibadah yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Kedua, dia tidak menginfakkan atau menyisihkan sebagian gajinya untuk kaum duafa atau masyarakat miskin.

Ketiga, dia sengaja melupakan janjinya setelah terpilih padahal Tuhan kan murka dengan orang-orang yang tidak menepati janji. Keempat, terlibat dalam drama selingkuh atau praktek perzinahan. Dengan istrinya saja dia mau berkhianat bagaimana dengan rakyatnya. Kelima, meminum-minuman keras dan terlibat praktik judi. Bagaimana bisa mengambil suatu kebijakan sedangkan kondisi dalam keadaan mabuk dan gajinya selain disetor untuk partai juga habis dimeja judi. Sehingga apa yang dia pikirkan bukan lagi persoalan-persoalan kerakyatan, tetapi adalah uang untuk ditaruhkan di meja judi.

Ketujuh, politisi yang hanya memperdulikan nasib kelompoknya. Ketika terpilih sebagai anggota dewan, para politisi mesti ingat mereka bukan milik Parpol lagi (dalam konteks masalah keumatan), tetapi sudah menjadi milik masyarakat secara keseluruhan jadi sikap peduli terhadap kelompok sebaiknya dihilangkan dan berikanlah kepedulian itu secara keseluruhan. Tidak tebang pilih dan tidak mengenal kata pensiun untuk memperdulikan permasalahan masyarakat

Ganti Politisi Busuk

Memang untuk mencapai politik yang bersih dan peduli yang kita perlukan sebetulnya bukanlah aturan yang sedemikian rumitnya, melainkan politisi-politisi bermoral dan berakhlak mulia. Ini memang tidak mudah, sebab tidak semua orang masyarakat tahu profil para caleg yang sedemikian banyak jumlahnya. Sehingga tingkat popularitaslah yang kelak menjadi pilihan masyarakat.

Dengan kata lain, masyarakat harus lebih pro aktif untuk mencari tahu profil caleg-caleg yang akan dipilihnya kelak. Pantas atau tidakkah caleg tersebut menjadi wakilnya di parlemen. Meskipun demikian, harus pula diakui karakter atau prilaku pemilih kita yang masih relatif rendah kualitasnya dalam menentukan pilihan seperti mudah terperdaya dengan materi dan kurang cerdas dalam memilih caleg-caleg mana yang memang benar-benar bersih adalah kesalahan fatal yang terjadi pada Pemilu 2004.

Pemilu 2009 adalah kesempatan bagi masyarakat untuk tidak mengulangi kesalahan memilih seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Sudah saatnya masyarakat kita bangkit dan melek politik sebab urusan kampung tengah (perut) yang selama ini masyarakat lebih prioritaskan ternyata mempunyai hubungan yang erat. Sampai kapan pun masyarakat tidak akan dapat hidup sejahtera selama orang-orang yang mereka dudukkan di istana politik adalah orang-orang yang tidak paham dengan permasalahan bangsa dan masyarakatnya. Jadi, untuk Pemilu 2009 nanti jangan pilih politisi busuk pilihlah politisi negarawan yang mau menyerahkan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Mencari Politisi Negarawan

Politik yang bertanggung jawab adalah politik yang memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuatan. Pelarian diri masyarakat yang benuansa apatisme, keluar dari lingkup politik untuk menyelamatkan diri di kehidupan pribadi menjadi faktor utama terbentuknya krisis kepercayaan. Demikian tulis Awaludin Marwan, S.H, Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA ORGA) Jawa Tengah.

Hal ini menuntut kita untuk mencari politisi-politisi negarawan yang memiliki moral atau akhlak yang mulia. Negarawan dapat ditafsirkan sebagai seseorang yang selalu memberikan apa yang dimilikinya tetapi tidak pernah meminta keuntungan dari apa yang telah diberikannya. Implikasinya, para politisi dituntut untuk menjadi politisi negarawan yang berorientasi kepada permasalahan-permasalahan masyarakat dengan berupaya sekuat tenaga memberikan apa yang dimilikinya.

Ini adalah politisi yang ideal dan sangat jarang ditemukan. Namun, sudah menjadi kewajiban masyarakat untuk mencarinya sebab bangsa ini tidak akan mengalami perubahan jika para pemimpinnya tidak bermoral dan berakhlak baik. Sosialisasi DCT (Daftar Calon Tetap) sudah dilakukan oleh KPU, kita mempunyai kewajiban untuk berusaha mencari dan mengetahui lebih jauh tentang para caleg yang telah diumumkan KPU propinsi dan kabupaten / kota baik dari aspek pendidikannya maupun dari aspek moralitasnya bukan sekedar simbol-simbol yang tercermin pada penampilan luar saja.

Itulah sebabnya, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki bangsa ini ke depan adalah melalui pesta demokrasi yang dilaksanakan pada 9 April 2009 nanti. Pilihlah politisi negarawan yang ikhlas dan berjuang untuk kemaslahatan umat dan kita mempunyai waktu yang cukup panjang untuk mencarinya dan sebagai masyarakat yang cerdas patutlah kita meragukan para caleg yang lebih banyak berkata dan berjanji untuk memperjuangkan nasib rakyat.

Kendati demikian dengan keluarnya keputusan MK yang memutuskan penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak masyarakat mestinya mampu memutuskan pilihan bukan karena kepopuleran caleg, tetapi kualitasnya juga perlu dipertimbangkan sehingga ke depannya kita tidak dikecewakan.

Rabu, 07 Januari 2009

Kliping dan arsip saya

Ini Sebagian dari karya tulis yang telah diterbitkan Banjarmasin post ketika masih aktif sbg pengamat/pemerhati sosial politik/kemasyarakatan .Sebagian kliping telah Hilang namun anda dapat mengkliknya di Banjarmasin post online









Negara Hukum atau yang Dihukum

[proletar] Negara Hukum atau yang Dihukum

Sunny
Tue, 19 Jun 2007 17:01:10 -0700

http://www.indomedia.com/bpost/062007/20/opini/opini2.htm

Negara Hukum atau yang Dihukum

Oleh: Syahminan/Abau
Pemerhati masalah sosial

Indonesia lebih dulu harus menegakkan hukum di negeri sendiri sebelum meminta
Singapura menjadi penegak hukum bagi Indonesia. Demikian komentar Menlu
Singapura George Yeo (Tempo, 27/2/2005).

Pernyatan ini merupakan sindiran kepada sistem hukum kita yang mereka nilai
cenderung korup. Misalnya, antara pejabat dan pengusaha yang kemudian berdampak
pada kerugian Negara.

Sindiran George Yeo itu bukannya tidak beralasan. Sebab, kita beberapa kali
mendesak Pemerintah Singapura supaya menandatangani perjanjian ekstradisi
dengan harapan koruptor yang bersembunyi di sana dapat ditangkap berikut dana
yang mereka bawa lari.

Terlepas dari benar atau salah pernyataan tersebut, sebagai sebuah negara hukum
tentu Indonesia perlu melakukan instropeksi diri untuk memperbaiki citra hukum
beserta aparat hukum di negeri ini. Untuk itu, dalam berbangsa dan bernegara
serta bermasyarakat diatur oleh UU (hukum/peraturan) sebagai konsekuensinya.
Kini yang jadi masalah adalah bagaimana upaya penegakan hukum (law enforcement)
itu sebagai jaminan adanya kepastian hukum. Sebagaimana kita ketahui, banyak
sekali permasalahan/pelanggaran hukum yang terjadi di negari ini tidak
terselesaikan. Seperti kasus pelanggaran HAM, korupsi, illegal logging dll.

Misalnya kasus pelanggaran HAM Semanggi I dan II, Tanjung Priok, pembunuhan
aktivis HAM Munir, dll. Pada kasus korupsi, banyak pelaku yang lolos dari jerat
atau sanksi hukum. Bagi mereka yang terjerat hanya mendapatkan hukuman sangat
minim atau ringan, bahkan kesan tebang pilih begitu kuat aromanya.

Krisis kepercayaan telah jauh memasuki kita semua hingga sampai pada sektor
hukum. Hal ini terlihat jelas melalui berbagai permasalahan yang ada di
masyarakat diselesaikan tidak melalui jalur hukum tapi unjuk kekuatan, main
hakim sendiri yang menimbulkan pelanggaran hukum baru.

Tidak salah Tajuk BPost edisi 10 dan 14 Mei berjudul Era Hukum yang Konyol dan
Susahnya Menegakkan Hukum di Indonesia, sebagai ungkapan keprihatinan atas
berbagai kasus pelanggaran hukum dan penegakannya.

Misalnya pada kasus perebutan/sengketa tanah di Meruya. Keputusan MA yang
memenangkan PT Portanigra dan memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
untuk melakukan eksekusi, tapi mendapat perlawanan warga. Uniknya, anggota DPR
dan pejabat juga terkesan ikut menghalangi proses hukum sebab mereka meminta
eksekusi ditunda. Kita sesalkan, ranah hukum terkesan mendapat tekanan dan
intervensi dalam membuat suatu putusan. Semestinya proses hukum berikut
keputusannya harus lepas dari segala tekanan, termasuk oleh
kekuasaan/pemerintah. Hebatnya lagi, permintaan penundaan eksekusi itu akhirnya
terwujud sesuai janji mereka pada warga Meruya Selatan.

Sudah semestinya, di negara yang mengaku sebagai negara hukum menaati dan
menghormati segala keputusan yang dikeluarkan lembaga hukum seperti pengadilan.
Kalaupun tidak terima atas putusan hukum, sebaiknya lakukanlah perlawanan
melalui aturan hukum juga. Bukan melalui jalur politik atau pameran kekuatan
massa sebagai alat penekan atas putusan hukum. Kalau ini yang terjadi, maka
Hukum Rimbalah yang berlaku.

Jika Proses hukum di negara yang katanya negara hukum tidak bisa ditegakkan,
bukannya kepastian hukum yang diperoleh tapi kepastian menjadi bangsa dan
negara yang dihukum. Banyak sudah contoh negara/bangsa yang dihukum, karena
mereka tidak patuh pada norma hukum yang berlaku. Misalnya, kaum Nabi Nuh dan
Luth, Mereka ditimpakan bencana oleh Allah karena tidak taat pada ajaran Nya
(hukum) yang disampaikan.

Negeri kita sendiri akan cenderung tidak dihormati dan berwibawa di mata bangsa
lain. Hal itu dapat mereka lakukan melalui berbagai tindakan. Di antaranya
dengan membatalkan atau menghentikan berbagai investasi mereka yang ada. Bagi
investor yang nakal, dapat melakukan kolusi/suap dengan pejabat yang berakibat
merugikan negara. Misalnya, mereka tidak peduli pada kerusakan lingkungan
karena putusan hukum dapat mereka beli.

Kejahatan akan terus beraksi di negeri ini sebagai hukuman atas
ketidakberdayaan kita dalam menegakkan hukum itu sendiri. Kita semua jauh dari
rasa aman dan nyaman hidup di negeri sendiri.

Pilihan ada pada bangsa kita sendiri, mau jadi negara hukum yang menjunjung
tinggi supremasi hukum lewat penegakkannya atau justru menjadi negara yang
dihukum.

Selasa, 06 Januari 2009

kontak

Nama : Syahminan

Alamat : Jl.Suka Damai(gg.nyamuk) Rt.08 No.51A Sulingan-Tanjung 71571

Phone : +6281351362801

Email : abauwkan@yahoo.com

Senin, 05 Januari 2009

Bau Busuk Pesta Demokrasi

Politisi Busuk Wujud Kontaminasi Politik
By icwweb
Rabu, Mei 28, 2008 12:47:12 339 Clicks and 0 Comments Pdf Version Printable Version Send this story to a friend
Sebuah gerakan nasional tidak memilih politisi busuk (Ganti Polbus) dideklarasikan di Tugu Proklamasi beberapa waktu lalu. Gagasan itu dimotori beberapa NGO seperti JPPR, ICW, KIPP, Formapi dan Cetro. Gerakan tersebut sudah lama dilakukan. Muncul sejak 2003.

Ganti Polbus membuat sejumlah kriteria tentang politisi busuk. Ciri-ciri politisi busuk, antara lain, adalah terlibat KKN, pernah melanggar HAM pada masa lalu, perusak hutan, dan mangkir dari tugasnya di legislatif.

Gerakan itu membuat gerah politisi di Senayan. Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Ketua DPR Agung Laksono mengingatkan agar Ganti Polbus tidak gegabah menyebut nama dan lebih fokus pada kriteria (Jawa Pos, 25/5/08). Para politisi gerah karena citra mereka akan rusak bila masuk kategori politisi busuk.

Meskipun akan dimusuhi politisi, kehadiran gerakan itu dibutuhkan untuk menjadi alat kontrol dan instrumen bagi masyarakat guna menyampaikan keberatan atas calon anggota legislatif dari suatu partai politik. Paling tidak, sejak awal telah ada filter dari masyarakat karena mekanisme pencalonan seseorang yang akan menduduki kursi parlemen sangat tertutup, prosesnya hanya diketahui oleh petinggi partai politik.

Sebagai alat kontrol, kehadiran Ganti Polbus menjadi signifikan apabila dapat mendorong partai-partai politik melakukan rekrutmen secara transparan. Di sisi yang lain, gerakan tersebut akan memiliki arti apabila kriteria yang disebutkan memiliki kekuatan hukum. Sayang, UU No 10/2008 tentang Pemilu tidak mengadopsi persyaratan para wakil rakyat yang buruk dan cacat moral.

Ada gejala orang-orang yang kotor pun dapat duduk di parlemen bila dekat dengan petinggi parpol. Sebab, tidak ada syarat secara perundang-undangan yang melarang itu.

Sejumlah Faktor
Dalam terminologi politik baku, istilah politisi busuk dapat dicarikan penjelasannya melalui istilah yang pernah diperkenalkan Samuel Hungtinton sebagai political decay (peluruhan/kerusakan politik). Peluruhan politik sebagai sebuah gejala rusaknya sistem politik karena tindakan-tindakan yang negatif para aktor politik seperti korupsi dan sejumlah tindakan lain yang tidak bermoral.

Kerusakan politik terkait sejumlah faktor. Pertama, faktor sistem dan lemahnya negara. Biasanya, ciri-ciri kerusakan politik disebabkan faktor itu. Negara yang lemah menjadi salah satu penyebab lahirnya praktik-praktik penyimpangan dan salah satu di antaranya adalah masalah korupsi yang sistemik.

Ciri itu ditandai adanya peluang sistem politik untuk terjadinya korupsi berjamaah dan penyimpangan dalam bentuk lain. Sistem politik yang lemah, khususnya tidak adanya transparansi tanggung jawab politik para politisi, menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan.

Kedua, negara-negara yang mengalami transisi dari sistem otoritarian ke demokrasi kerap menghadapi persoalan pembusukan politik. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami transisi itu. Ciri-ciri pembusukan politik itu jelas. Yakni, aktor-aktor politik (politisi) larut oleh kepentingan sendiri. Menguras uang negara untuk kelompoknya, bukan berorientasi untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat.

Ketiga, transisi politik di Indonesia -setelah 10 tahun reformasi- tidak melahirkan kelompok reformasi yang kuat, tetapi terserak. Dampaknya, kompromi politik dengan kekuatan lama terus terjadi. Dengan demikian, upaya untuk membersihkan politik dari kepentingan rezim dan kekuatan lama sulit terjadi. Kontaminasi politik itu menjadi salah satu akar tunjang tanda-tanda kerusakan politik.

Keempat faktor perilaku pemilih sendiri. Perilaku pemilih yang menjual hak pilihnya dengan imbalan adalah lingkungan yang justru menyuburkan lahirnya politisi busuk. Politisi yang terpilih bukan karena kemampuan, tetapi uang.

Politik di Indonesia mengharuskan modal politik yang besar bagi politisi. Tanpa modal, tidak mungkin seorang politisi dapat terpilih karena memang faktor lingkungan juga mengharuskan demikian.

Karena itu, lingkungan menjadi salah satu penyebab terjadinya proses akumulasi modal yang dilakukan para politisi dalam bentuk rente, yang ini juga berujung pada lahirnya money politics dalam pemilu (pemilihan umum dan pilkada).

Seruan Moral
Sebagai seruan moral, Ganti Polbus adalah cermin kekecewaan publik atas praktik politik para politisi yang jauh dari perjuangan untuk rakyat memilih. Lemahnya kontrol konstituen terhadap wakilnya di legislatif adalah salah satu penyebabnya. Wakil-wakil rakyat lebih asyik dengan dunianya sehingga dia teralienasi dari para pemilihnya.

Akuntabilitas wakil rakyat yang rendah itu menjadi salah satu indikator kegagalan sistem perwakilan yang kita anut. Tak ada kewajiban bagi wakil untuk bertanggung jawab ke pemilihnya. Kelemahan sistem perwakilan kita ialah perwakilan yang tak memiliki tanggug jawab dan tanggung gugat terhadap pemilih.

Selama ini wakil rakyat hanya takut dan bertanggung jawab terhadap partai dan tidak memiliki ikatan kepada konstituen. Posisi konstituen semakin lemah oleh masih berlakunya sistem recalling partai politik. Konstituen hanya dibutuhkan untuk memilih, setelah itu para politisi cenderung go to hell, jalan dengan kemauan dan kepentingannya sendiri.

Untuk mengatasi kelemahan itu, idealnya secara peraturan perundang-undangan ada tanggung jawab wakil terhadap yang diwakili. Sayang, UU paket politik yang sebagian telah ditetapkan tidak memiliki semangat itu. Dampaknya, praktik politik di parlemen ke depan tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Artinya, politisi tetap tidak dapat di kontrol dan tidak ada jaminan bahwa yang duduk adalah wakil-wakil yang baik moralnya.

Moch. Nurhasim, peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Mei 2008