Rabu, 19 Oktober 2011

Hak POlitik Perempuan

Oleh: Syahminan/Abau
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

RA Kartini memperjuangkan kesetaraan gender/emansipasi antara perempuan dan laki-laki, termasuk bidang politik. Tapi apakah hak kesetaraan gender itu berjalan sebagaimana mestinya?

Tinta emas sejarah Indonesia mencatat Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional. Ia pantang menyerah dalam memimpin rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. Kuatnya Ajaran Islam di Aceh, tidak menghalangi atau mengharamkannya untuk memimpin perjuangan.

Di era reformasi, Megawati Soekarnoputri menjadi perempuan pertama memimpin negeri ini sebagai Presiden RI. Awalnya, ia mendapat banyak halangan dan ganjalan dari kelompok yang menentangnya. Mereka menggunakan berbagai cara dan alasan untuk mencegalnya, termasuk dengan memasukkan isu agama yang melarang perempuan menjadi pemimpin.

Pandangan atau isu Ajaran Islam melarang perempuan menjadi pemimpim, menjadi terkikis. Ini dibuktikan dengan ikut sertanya Megawati yang berpasangan dengan tokoh utama NU, KH Hasyim Muzadi, pada pemilihan presiden langsung.

Prof Dr M Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Alquran menyatakan, pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan telah dikikis oleh Alquran. Menurut Quraish, Islam membenarkan perempuan melakukan segala aktivitas di dalam/luar rumah. Asalkan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dapat memelihara agamanya serta menghindari dampak negatif dari pekerjaan dan lingkungannya.

Hal itu juga ditemukan dalam UUD 1945 yang tidak memberikan larangan dan hambatan bagi perempuan untuk bekerja atau ikut berpolitik. Itu semua akan menjadi sangat jelas, jika kita baca semua pasal UUD tersebut. Jadi jelas bagi kita , UUD 1945 bahkan Ajaran Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan karena gender.

Namun kenyataan di masyarakat kita masih banyak orang yang berpandangan/persepsi keliru terhadap perempuan. Buktinya, ada yang memberikan label 3D pada perempuan yaitu: Di kasur, Di dapur dan Di sumur. Alangkah ekstrem dan kejamnya mereka yang menggunakan istilah ini untuk perempuan.

Tetapi perlu diketahui, pandangan seseorang terhadap perempuan bisa menyempit atau melebar tergantung tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Mereka yang berpandangan negatif terhadap perempuan, bisa dikategorikan kurang memahami dan mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Melihat kenyataan itu, perlu sekali kita berikan pendidikan/penjelasan kepada masyarakat tentang kesetaraan gender. Ini dapat dimulai dengan sikap kita terhadap perempuan dalam bermasyarakat, serta melalui pendidikan formal di sekolah.

*****

Sekarang, politik di daerah menghangat terutama di daerah yang akan menggelar pilkada. Menjadi pokok perhatian adalah dari sekian banyak calon/kandidat bupati/wakilnya tidak terlihat nama perempuan. Padahal secara kuantitas mereka sangat banyak. Sebagai contoh, ini terlihat jelas di bursa cabup/cawabup Kabupaten Tabalong pada pilkada nanti.

Apakah kenyataan seperti ini mengikuti pilkada di berbagai daerah di Kalsel beberapa waktu lalu? Dalam pilkada lalu, keterwakilan perempuan sangat minim. Dari Pilkada gubernur, walikota/bupati atau delapan pilkada lalu, hanya ada dua perempuan dari 29 pasang (58 orang) atau hanya 3,4 persen.

Minimnya keterwakilan perempuan menjadi peserta pilkada, bukan berarti di daerah ini SDM mereka tidak memadai. Tapi disebabkan kondisi yang tidak memberikan kesempatan lebih luas kepada mereka. Dari mekanisme pencalonan masih ditentukan oleh segelintir elit partai di DPRD, yang notabene juga didominasi laki-laki. Alasan lain, tidak terbukanya kesempatan bagi calon independen terutama yang berasal perempuan. Kendalanya lebih bersifat di luar dari statusnya sebagai perempuan. Diharapkan, perempuan tetap mempersiapkan dirinya.

Mengingat jumlah perempuan yang menjadi pemilih sangat besar dalam pilkada nanti, tentu mereka akan menjadi sasaran kandidat untuk meraih dukungan. Kandidat tidak sungkan mengangkat isu perempuan/keterwakilannya demi meraih/mendongkrak popularitas dan dukungan. Namun itu semua perlu dicermati bersama terutama bagi perempuan, sebab jangan-jangan mereka dijadikan komoditas politik belaka.

Perempuan dengan hak politiknya (memilih) dalam pilkada. kita harapkan menggunakan hak pilihnya dengan tepat dan benar. Terutama memilih calon yang betul-betul menjunjung harkat dan martabat perempuan, serta tidak diskriminasi terhadap perempuan/kesetaraan gender.

Harapan kita, pilkada yang akan digelar di berbagai daerah nanti khususnya di Tabalong tidak menimbulkan perpecahan. Pilkada berjalan aman dan tertib sehingga masyarakat dan pemerintah kabupaten tetap dapat melakukan aktivitas dengan normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar