Selasa, 16 September 2008

Pandangan tehadap hak -hak Perempuan

Tulisan ini telah dimuat dan diterbitkan oleh harian Banjarmasin Post 22 april 2007


Perempuan Di Antara Hak Dan Politik

Oleh: Syahminan/Abau
Pemerhati Sosial Kemasyarakatan

RA Kartini memperjuangkan kesetaraan gender/emansipasi antara perempuan dan
laki-laki, termasuk bidang politik. Tapi apakah hak kesetaraan gender itu
berjalan sebagaimana mestinya?

Tinta emas sejarah Indonesia mencatat Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional.
Ia pantang menyerah dalam memimpin rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda.
Kuatnya Ajaran Islam di Aceh, tidak menghalangi atau mengharamkannya untuk
memimpin perjuangan.

Di era reformasi, Megawati Soekarnoputri menjadi perempuan pertama memimpin
negeri ini sebagai Presiden RI. Awalnya, ia mendapat banyak halangan dan
ganjalan dari kelompok yang menentangnya. Mereka menggunakan berbagai cara dan
alasan untuk mencegalnya, termasuk dengan memasukkan isu agama yang melarang
perempuan menjadi pemimpin.

Pandangan atau isu Ajaran Islam melarang perempuan menjadi pemimpim, menjadi
terkikis. Ini dibuktikan dengan ikut sertanya Megawati yang berpasangan dengan
tokoh utama NU, KH Hasyim Muzadi, pada pemilihan presiden langsung.

Prof Dr M Quraish Shihab dalam karyanya Membumikan Alquran menyatakan,
pandangan yang membedakan laki-laki dan perempuan telah dikikis oleh Alquran.
Menurut Quraish, Islam membenarkan perempuan melakukan segala aktivitas di
dalam/luar rumah. Asalkan pekerjaan itu dilakukan dalam suasana terhormat,
sopan, dapat memelihara agamanya serta menghindari dampak negatif dari
pekerjaan dan lingkungannya.

Hal itu juga ditemukan dalam UUD 1945 yang tidak memberikan larangan dan
hambatan bagi perempuan untuk bekerja atau ikut berpolitik. Itu semua akan
menjadi sangat jelas, jika kita baca semua pasal UUD tersebut. Jadi jelas bagi
kita , UUD 1945 bahkan Ajaran Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan
karena gender.

Namun kenyataan di masyarakat kita masih banyak orang yang
berpandangan/persepsi keliru terhadap perempuan. Buktinya, ada yang memberikan
label 3D pada perempuan yaitu: Di kasur, Di dapur dan Di sumur. Alangkah
ekstrem dan kejamnya mereka yang menggunakan istilah ini untuk perempuan.

Tetapi perlu diketahui, pandangan seseorang terhadap perempuan bisa menyempit
atau melebar tergantung tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Mereka yang
berpandangan negatif terhadap perempuan, bisa dikategorikan kurang memahami dan
mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Melihat kenyataan itu, perlu sekali kita berikan pendidikan/penjelasan kepada
masyarakat tentang kesetaraan gender. Ini dapat dimulai dengan sikap kita
terhadap perempuan dalam bermasyarakat, serta melalui pendidikan formal di
sekolah.

*****

Sekarang, politik di daerah menghangat terutama di daerah yang akan menggelar
pilkada. Menjadi pokok perhatian adalah dari sekian banyak calon/kandidat
bupati/wakilnya tidak terlihat nama perempuan. Padahal secara kuantitas mereka
sangat banyak. Sebagai contoh, ini terlihat jelas di bursa cabup/cawabup
Kabupaten Tabalong pada pilkada nanti.

Apakah kenyataan seperti ini mengikuti pilkada di berbagai daerah di Kalsel
beberapa waktu lalu? Dalam pilkada lalu, keterwakilan perempuan sangat minim.
Dari Pilkada gubernur, walikota/bupati atau delapan pilkada lalu, hanya ada dua
perempuan dari 29 pasang (58 orang) atau hanya 3,4 persen.

Minimnya keterwakilan perempuan menjadi peserta pilkada, bukan berarti di
daerah ini SDM mereka tidak memadai. Tapi disebabkan kondisi yang tidak
memberikan kesempatan lebih luas kepada mereka. Dari mekanisme pencalonan masih
ditentukan oleh segelintir elit partai di DPRD, yang notabene juga didominasi
laki-laki. Alasan lain, tidak terbukanya kesempatan bagi calon independen
terutama yang berasal perempuan. Kendalanya lebih bersifat di luar dari
statusnya sebagai perempuan. Diharapkan, perempuan tetap mempersiapkan dirinya.

Mengingat jumlah perempuan yang menjadi pemilih sangat besar dalam pilkada
nanti, tentu mereka akan menjadi sasaran kandidat untuk meraih dukungan.
Kandidat tidak sungkan mengangkat isu perempuan/keterwakilannya demi
meraih/mendongkrak popularitas dan dukungan. Namun itu semua perlu dicermati
bersama terutama bagi perempuan, sebab jangan-jangan mereka dijadikan komoditas
politik belaka.

Perempuan dengan hak politiknya (memilih) dalam pilkada. kita harapkan
menggunakan hak pilihnya dengan tepat dan benar. Terutama memilih calon yang
betul-betul menjunjung harkat dan martabat perempuan, serta tidak diskriminasi
terhadap perempuan/kesetaraan gender.

Harapan kita, pilkada yang akan digelar di berbagai daerah nanti khususnya di
Tabalong tidak menimbulkan perpecahan. Pilkada berjalan aman dan tertib
sehingga masyarakat dan pemerintah kabupaten tetap dapat melakukan aktivitas
dengan normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar