Senin, 24 Oktober 2011

Senjata Tradisional Suku Dayak Mandau Dan Sumpit


Mandau, senjata tradisional Dayak

Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan arang, mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.

Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu untuk di potong.

Setiap Mandau memiliki kumpang. Kumpang adalah sarung bilah mandau. Kumpang terbuat dari kayu, dilapisi tanduk rusa, dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Selain itu pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.

Biasanya orang awam akan sering kebingungan antara mandau dan ambang. Ambang adalah sebutan bagi mandau yang terbuat dari besi biasa. Sering dijadikan cinderamata. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa, seperti besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau batang besi lain.

Menurut literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikei, Samba, Kotawaringin Timur. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan. Mandau asli harganya dimulai dari Rp. 1 juta rupiah. Mandau asli yang berusia tua dan memiliki besi yang kuat bisa mencapai harga Rp. 20 juta rupiah per bilah. Bahan baku pembuatan mandau biasa dapat juga menggunakan besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan dan besi batang lain. Piranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebasang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan. Juga digunakan penghembus udara bertenaga listrik untuk membarakan nyala limbah kayu ulin yang dipakainya untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan kayu lainnya.

Mandau untuk cideramata biasanya bergagang kayu, harganya berkisar Rp. 50.000 hingga Rp. 300.000 tergantung dari besi yang digunakan. Mandau asli mempunyai penyang, penyang adalah kumpulan-kumpulan ilmu suku dayak yang didapat dari hasil bertapa atau petunjuk lelulur yang digunakan untuk berperang. Penyang akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat dan kebal dalam menghadapi musuh. mandau dan penyang adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan turun temurun dari leluhur.
Sumpit atau lebih dikenal di daerah Kalimantan Tengah dengan sebutan sipet adalah salah satu senjata yang sering digunakan oleh suku Dayak maupun oleh masyarakat Melayu. Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.

Dilihat dari bentuknya sumpit, sumpit memiliki bentuk yang bulat dan memiliki panjang antara 1,5-2 meter, berdiameter sekitar 2-3 sentimeter. Pada ujung sumpit ini diolah sasaran bidik seperti batok kecil seperti wajik yang berukuran 3-5 sentimeter. Pada bagian tengah dari sumpit dilubangi sebagai tempat masuknya damek (anak sumpit). Pada bagian bagian atas sumpit lebih tepatnya pada bagian depan sasaran bidik dipasang sebuah tombak atau sangkoh (dalam bahasa Dayak). Sangkoh terbuat dari batu gunung yang lalu diikat dengan anyaman uei (rotan).



Jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat sumpit pada umumnya adalah kayu tampang, kayu ulin atau tabalien, kayu plepek, dan kayu resak. Tak ketinggalan juga tamiang atau lamiang, yaitu sejenis bambu yang berukuran kecil, beruas panjang, keras, dan mengandung racun. Tidak semua orang memiliki keahlian dalam membuat sumpit atau sipet. Di Pulau Kalimantan saja hanya ada beberapa suku saja yang memiliki keahlian dalam pembuatan sumpit, yaitu suku Dayak Ot Danum, Punan, Apu Kayan, Bahau, Siang, dan suku Dayak Pasir.

Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ketrampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta.

Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.


Source Kamus Dayak

Suku Dayak Kalimantan Atau Borneo Dan Sejarah


MEMPERKENALKAN DAN MENGENAL “DAYAK PRIBUMI BORNEO”:

1. PENDAHULUAN
Adalah satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa istilah DAYAK merupakan salah satu istilah yang membingungkan. Pertama-tama, tidak seorangpun peneliti baik dari Barat maupun dari Timur termasuk Indonesia yang mengetahui dengan pasti dari mana asal istilah itu. Selain dari itu, tidak seorangpun yang dapat memberi keterangan yang pasti tentang arti kata DAYAK itu. Ada pelbagai tafsiran yang bisa ditemukan dalam pelbagai tulisan, namun semuanya hanya opini belaka. Jadi tidak dapat dijadikan pegangan.

Kebingungan kedua ialah kerancuan untuk mengidentifikasi mana yang DAYAK dan mana yang BUKAN DAYAK. Definisi yang menjadi awal kerancuan ialah: orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu. Orang Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang beragama Islam dan bukan orang Dayak (Niewenhuis, 1894:16).

Kebingungan ketiga terjadi ketika “orang DAYAK” menganut agama Islam. Orang ini tidak lagi mengidentifikasi dirinya sebagai “orang Dayak” tetapi sebagai “orang Melayu”. Mereka tidak lagi menggunakan bahasa asalnya tetapi menggunakan bahasa Melayu atau bahasa-bahasa yang Malayik seperti bahasa Banjar. (Ave & King, 1971: 9).

Walaupun banyak hal yang membingungkan, ada satu hal yang pasti, bahwa istilah DAYAK, tidak mengacu pada SATU KOMUNITAS YANG SERAGAM, tetapi merupakan SATU KEPELBAGAIAN yang jumlah dan ragamnya cukup sulit untuk
ditentukan dengan pasti. Ini berarti bahwa istilah DAYAK adalah satu istilah payung
yang mengandung pelbagai pengertian dan kenyataan.

Tak boleh dilupakan bahwa di Borneo Utara (Sabah) ada kelompok masyarakat yang menamakan dirinya LON DAYE atau orang Daye. Namun demikian, kelompok ini adalah kelompok kecil dan masih nomadik (hidup berpindah-pindah). Jadi tidak mungkin
merupakan penentu istilah DAYAK itu.

Dalam buku Myths and Symbols in Primitive World, Heinrich Zimme (1943) menyebutkan istilah DYAGOS (dayakhos) yang berasal dari bahasa Portugis yang artinya ialah makhluk setengah manusia dan setengah hewan. Dalam mitologi Portugis
ada makhluk di sebuah pulau yang terpencil di sebelah matahari terbit yang wujudnya
separo manusia (bagian perut hingga kaki) dan separo hewan (bagian dada hingga kepala)
yang bersifat licik dan jahat.

Apakah istilah inilah yang digunakan oleh orang Portugis untuk menamakan pribumi Borneo yang mereka jumpai pada awal abad ke 17, tidak ada yang bisa memastikannya. Yang pasti ialah “pribumi Borneo yang dinamakan Dayak, tidak menamakan dirinya Dayak”. Istilah itu adalah istilah dari dunia luar yang dikenakan pada pribumi Borneo secara keseluruhan.

Sepengetahuan penulis, tidak ditemukan kosakata DAYAK dalam bahasa lokal Borneo manapun juga. Jadi istilah itu tidka berasal dari salahs atu bahasa lokal Borneo.

2. MASA LALU DAYAK YANG PAHIT GETIR

Orang yang pernah tinggal di Banjarmasin tahun 1938 atau sebelumnya, pasti pernah membaca tulisan: VERBODEN TOEGANG VOOR HONDEN EN DAJAKERS yang artinya DILARANG MASUK ANJING DAN ORANG DAYAK. Tulisan itu terpampang di pintu gerbang memasuki kolam renang (zwembad).

Tulisan itu menggambarkan pandangan orang Belanda terhadap orang Dayak. Orang Dayak disejajarkan dengan anjing. Jadi tidak mirip dengan manusia yang paling rendahpun. Orang Dayak hanya pantas disejajarkan dengan anjing.

Putra-putri “Dayak” yang pernah masuk sekolah Belanda untuk pribumi, pasti tidak lupa diskriminasi yang pahit getir yang dialaminya selama sekolah. Makian “domoor” (dungu), “koppig” (kepala batu), “onbeschaft” (biadab) merupakan “makanan harian” yang harus diterima tanpa bisa melawan. Semua itu meninggalkan luka yang mendalam.

Selain Belanda, masyarakat luar juga memandang “orang Dayak” dengan pandangan yang merendahkan. Istilah yang biasa digunakan di kawasan Selatan ialah BIAJU yang artinya orang udik. Orang Biaju artinya orang yang tidak berpendidikan, tidak mempunyai sopan santun yang halus, tidak beragama (kafir) dan yang paling utama
lebih rendah dari masyarakat pada umumnya. Di Jawa dan di luar Kalimantan, sifat
“ndayak” artinya sifat yang tidak baik, kasar, kaku, tidak terdidik dan tidak berbudaya.
Lagi pula seringkali orang Dayak itu dipandang sebagai kelompok manusia liar yang
makan orang dan suka memenggal kepala.

3. DAYAK BAGI GENERASI MUDA

Bagi generasi muda, istilah DAYAK bisa saja mempunyai implikasi dan makna yang berbeda dari implikasi dan makna yang yang diterima oleh generasi tua. Bagi generasi muda, mereka tidak mengalami perlakuan seperti yang dialami oleh generasi tua.

Bagi mereka, DAYAK bisa mengandung makna solidaritas masal yang sangat luas, karena istilah Dayak itu tidak mempunyai batas-batas yang jelas, Solidaritas masal yang sangat luas demikian itu, bisa merupakan kekuatan yang besar, namun kekuatan ini sifatnya rapuh, karena tidak ada pemimpin yang demikian besarnya, sehingga diterima
dan diakui oleh semua pihak.

Dalam menghadapi suatu ancaman, solidaritas demikian itu bisa saja bergerak bersama-sama. Tetapi bagaimana gerakan itu selanjutnya, sulit sekali untuk mengendalikannya, karena tidak ada kekuatan pengendali yang menyeluruh.

Sangat mungkin dongengan masa lalu tentang keberanian dan kepahlawanan memberi ilham yang kuat kepada generasi muda. Mereka memandang peristiwa kekerasan sebagai wujud dari keperkasaan masa lalu yang diwariskan kepada generasi muda. Padahal, sifat dan bentuk keberanian dan kepahlawanan masa lalu itu, berbeda sekali dari sifat dan bentuk keberanian dalam tindak kekerasan masa kini.

Di masa lalu, tindak kekerasan mempunyai tatanan yang jelas dan dengan jelas dibedakan dua macam tindak kekerasan: (i) tindak kekerasan yang adalah kejahatan yang harus dihukum dan (ii) tindak kekerasan yang berakar pada tuntutan budaya dan kepercayaan/agama masyarakat.

Membunuh dan memenggal kepala yang adalah kejahatan, sangat ditentang oleh hukum adat. Untuk tindakan ini, pelaku dikenakan denda dan hukuman adat yang berat. Lain halnya kalau memenggal kepala itu dilakukan sesuai dengan ketentuan tata adat dan
aturan kepercayaan yang diyakini kebenarannya. Dalam hal ini, memenggal kepala dalam
arti mengambil kepala manusia dipandang sebagai suatu perbuatan kepahlawanan yang
baik dan benar.

Untuk melakukannya, orang harus benar-benar mentaati ketentuan-ketentuan adat yang berlaku.

4. DAYAK: ETNIS TUNGGAL ATAU MULTI ETNIS?

Fredolin Ukur dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu Teologia, walaupun mengupas tantang jawab suku Dayak terhadap agama Kristen (1971), ternyata tidak memberi uraian baru tentang struktur masyarakat Dayak. Ukur hanya mengutip pandangan dua penulis Barat yaitu H.J. Mallinckrodt (1928) dan W. Stohr (1959).

Mallinckrodt menggunakan istilah “stammenras” yang mungkin berarti “rumpun suku” yaitu:
1. Kenyah-Kayan-Bahau/Wahau
2. Ot Danum
3. Iban
4. Murut
5. Klementan
6. Punan

Pembagian stammenrassen ini didasari oleh perbedaan dan kesamaan hukum adat. Hukum adat inilah yang kemudian disusun menjadi sebuah disertasi doktor dalam ilmu
ethnologi di Universitas Leiden pada tahun 1928.

Waldemar Stohr membuat pembagian menjadi 3 berdasarkan kesejajaran ritus kematian:
1. Ot Danum yang meliputi: Ot Danum, Ngaju, Maanyan, dan Lawangan
2. Murut yang meliputi: Dusun Murut dan Kelabit
3. Klementan yang meliputi: Klementan dan Land-Dayak

Jan B. Ave dan Victor King dalam buku BORNEO “THE PEOPLE OF THE WEEPING FOREST - TRADITION AND CHANGE IN BORNEO (1971)” menggunakan istilah Dayak groups. Kedua penulis ini membagi masyarakat Dayak menjadi 21 kelompok, yaitu: 1. Melanau, 2. Lun Dayeh, 3. Land Dayak, 4. Kadazan, 5. Kedayan, 6. Kelabit, 7. Bahau, 8. Murut, 9. Maloh, 10. Desa, 11. Taman, 12. Tebidah, 13. Kantu’, 14. Limbai, 15. Kenyah/Kayan, 16. Modang, 17. Tunjung, 18. Ot Danum, 19. Ngaju, 20. Maanyan dan Lawangan, 21. Iban.

Tjilik Riwut (1993) menggunakan pelbagai sumber lalu membagi seluruh masyarakat Dayak itu menjadi 11 kelompok yaitu 1. Ngaju, 2. Maanyan, 3. Lawangan, 4. Dusun, 5. Apokayan, 6. Kayan, 7. Bahau/Wahau, 8. Iban, 9. Klementan (Land Dayak), 10. Ketungau, 11. Murut dan Idaan.

Dari semua pembagian yang dikemukakan di atas tadi jelaslah bahwa yang dinamakan DAYAK itu bukan satu etnis. Beberapa etnis sebenarnya, belum ada pengetahuan yang pasti. Yang jelas sangat keliru pandangan yang memandang Dayak sebagai satu etnis saja.

Dari segi socio-liguistik, Bernard Sellato (1989) berkesimpulan sebagai berikut:
1. Rumpun bahasa-bahasa Barito terdiri dari:
1.1. North-east Barito:
1.1.1. Dusun Deyah
1.1.2. Ma’anyan
1.1.3. Dohoi
1.1.4. Siang

1.2. South-west Barito
1.2.1. Kapuas (Ngaju)
1.2.2. Katingan
1.2.3. Kahayan
1.2.4. Bakumpai

1.3. Barito-Mahakam
1.3.1. Tunjung
1.3.2. Ampanang

2. Rumpun bahasa-bahasa yang Malayik:
2.1. Malayik Dayak
2.1.1. Iban
2.1.2. Bahasa lain yang juga Malayik
2.2. Dayak Darat (Land-Dayak)
2.2.1. Silakau
2.2.2. Lara’
2.2.3. Jagoi
2.2.4. Singgie
2.2.5. Biatah
2.2.6. Bukar Sadong
2.2.7. Bekati
2.2.8. Benyadup
2.2.9. Kembayan
2.2.10. Ribun
2.2.11. Djongkang
2.2.12. Sanggau
2.2.13. Semandang
2.2.14. Mbaloh
2.2.15. Melanau
2.2.16. Kanowit
2.2.17. Tanjong
2.2.18. Bintulu
2.2.19. Lahanan
2.2.20. Kajaman-Sekapan
2.2.21. Bukitan

3. Rumpun Rejang-Baram
3.1. Beram-Tinjar
3.1.1. Lelak
3.1.2. Narom
3.1.3. Kiput
3.1.4. Tutong
3.1.5. Berawan
3.2. Rejang-Sajau
3.2.1. Punan Bah-Biau
3.2.2. Punan-Murap
3.2.3. Sajau Basap
3.2.4. Burusu
3.2.5. Basap/Bosap
3.3. Kayan-Kenyah
3.3.1. Rejang Kayan
3.3.2. Baram Kayan
3.3.3. Mendalam Kayan
3.3.4. Kayan Mahakam
3.3.5. Busang
3.3.6. Bahau
3.3.7. Kayan Sungai Kayan
3.3.8. Wahau Kayan
3.3.9. Modang
3.3.10. Segai
3.3.11. Aoheng
3.3.12. Hovongan
3.3.13. Kereho-Uheng
3.3.14. Bukat
3.3.15. Punan Aput
3.3.16. Punan Merah

4. Rumpun bahasa-bahasa Kayan-Kenyah
4.1. Punan Nibong
4.2. Kenyah
4.2.1. Kenyah Barat
4.2.2. Kenyah Baram-hulu
4.2.3. Kenyah Sungai Bahau
4.2.4. Kenyah Sungai Mahakam
4.2.5. Kelingau Kenyah
4.2.6. Kenyah Bakung
4.2.7. Kenyah Sebob
4.2.8. Kenyah Tutoh
4.2.9. Kenyah Wahau
4.2.10. Kenyah Tubu
4.3. Apu Duat
4.3.1. Kelabit
4.3.2. Lun Daye
4.3.3. Saban
4.3.4. Lenghu
4.3.5. PUTOH
4.3.6. Selungai Murut
4.3.7. Kolod
4.3.8. Sumambu Tagal
4.3.9. Paluan
4.3.10. Timugon
4.3.11. Beaufort Murut
4.3.12. Keningau Murut

5. Rumpun bahasa-bahasa Murutik, Dusunik, dan Idaan
5.1. Murutik
5.1.1. Tidong
5.1.2. Sembakung
5.1.3. Baukan
5.1.4. Kalabakan
5.1.5. Serudung
5.2. Dusunik
5.2.1. Dana
5.2.2. Kunjau
5.2.3. Dusun Kadasan
5.2.4. Lotud
5.2.5. Papar
5.2.6. Rungus
5.2.7. Kadasan Timur
5.2.8. Kadasan sungai Klias
5.2.9. Kimaragang
5.2.10. Garo
5.2.11. Tebilung
5.2.12. Tatana
5.2.13. Bisaya Utara
5.2.14. Bisaya Selatan
5.3. Bahasa-bahasa Bisaya
5.3.1. Tatana
5.3.2. Bisaya Utara
5.3.3. Bisaya Selatan
5.4. Bahasa-bahasa Paitanik
5.4.1. Dumpas
5.4.2. Tutong
5.4.3. Lingkabau
5.4.4. Abat sungai
5.4.5. Tambanua
5.4.6. Kinabatangan Hulu
5.4.7. Lobu
5.5. Ida’an

Dari daftar yang panjang ini, jelas tergambar bahwa istilah Dayak itu pasti Multi Etnik
dan bukan Etnik Tunggal. Dan dari paparan ini, orang harus lebih berhati-hati berbicara
tentang Dayak. Dayak itu hanya sebuah sebutan umum dan sama sekali tidak spesifik.
Jadi kalau orang berbicara tentang “Dayak” orang harus mengetahui lebih dahulu
“Dayak” yang mana dan di mana yang dimaksud.

5. PENUTUP
Dengan mengemukakan daftar yang dikutip dari pelbagai sumber yang validitas
dan kredibilitasnya tidak diragukan lagi, diharapkan muncul pemahaman yang lebih
benar tentang “Dayak” yang banyak dihubungkan dengan peristiwa Kerusuhan berdarah
di beberapa kawasan di Kalimantan-Tengah.

Daftar yang disajikan dalam tulisan ini, menampilkan daftar “Dayak” di seluruh
pulau Borneo, yang terdiri dari Kalimantan Indonesia, Sarawak, Sabah dan Brunei
Darussalam.


Sebuah Paparan Berdasarkan Pelbagai Sumber Resmi Hasil Penelitian Ilmiah
Prof. Drs. M.P. Lambut
Guru Besar Pada FKIP UNLAM Banjarmasin
2001

Daftar Pejabat Dikalsel Dalam Target Pemberantasan Korupsi

Diduga kuat sebagian besar kepala daerah di Kalimantan Selatan dalam Target Pemberantasan Korupsi Kejagung,Tipikor Polri dan KPK.Hanya saja belum dipublikasikan

Kepala Daerah Ke Jakarta Bukan Berarti Melakukan Perjalanan Dinas

Terkadang Kerpala Daerah berangkat ke Jakarta dan yang terkabar adalah sedang keluar daerah dalam rangka melakukan perjalan dinas.Tetapi hal itu belum tentu semuanya benar ,sebab terkadang juga sedang diperiksa ole KPK atau Kejagung.

Kehancuran Lingkungan Akibat Pertambangan di Kalsel

Perusahaan Besar atau Kecil yang bergerak disektor pertambangan di Kalsel telah memberikan kontribusi yang sangat besar untuk menghancurkan lingkungan dan ekosistem . Pertambangan yang dilakukan secara terbuka menciptakan  kawah besar dan danau benar karena tidak dilakukan reklamasi. Dan itu akan membahayakan  bagi generasi yang akan datang.

Minggu, 23 Oktober 2011

Senjata Tradisional Khas Dayak Kalimantan/Borneo

Mandau, senjata tradisional Dayak
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan arang, mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.
Pada jaman dulu jika terjadi peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu untuk di potong.
Setiap Mandau memiliki kumpang. Kumpang adalah sarung bilah mandau. Kumpang terbuat dari kayu, dilapisi tanduk rusa, dan lazimnya dihias dengan ukiran. Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman uei (rotan). Selain itu pada kumpang terikat pula semacam kantong yang terbuat dari kulit kayu berisi pisau penyerut dan kayu gading yang diyakini dapat menolak binatang buas. Mandau yang tersarungkan dalam kumpang biasanya diikatkan di pinggang dengan jalinan rotan.
Biasanya orang awam akan sering kebingungan antara mandau dan ambang. Ambang adalah sebutan bagi mandau yang terbuat dari besi biasa. Sering dijadikan cinderamata. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi biasa, seperti besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau batang besi lain.
Menurut literatur di Museum Balanga, Palangkaraya, bahan baku mandau adalah besi (sanaman) mantikei yang terdapat di hulu Sungai Matikei, Desa Tumbang Atei, Kecamatan Sanaman Matikei, Samba, Kotawaringin Timur. Besi ini bersifat lentur sehingga mudah dibengkokan. Mandau asli harganya dimulai dari Rp. 1 juta rupiah. Mandau asli yang berusia tua dan memiliki besi yang kuat bisa mencapai harga Rp. 20 juta rupiah per bilah. Bahan baku pembuatan mandau biasa dapat juga menggunakan besi per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan dan besi batang lain. Piranti kerja yang digunakan terutama adalah palu, betel, dan sebasang besi runcing guna melubangi mandau untuk hiasan. Juga digunakan penghembus udara bertenaga listrik untuk membarakan nyala limbah kayu ulin yang dipakainya untuk memanasi besi. Kayu ulin dipilih karena mampu menghasilkan panas lebih tinggi dibandingkan kayu lainnya.
Mandau untuk cideramata biasanya bergagang kayu, harganya berkisar Rp. 50.000 hingga Rp. 300.000 tergantung dari besi yang digunakan. Mandau asli mempunyai penyang, penyang adalah kumpulan-kumpulan ilmu suku dayak yang didapat dari hasil bertapa atau petunjuk lelulur yang digunakan untuk berperang. Penyang akan membuat orang yang memegang mandau sakti, kuat dan kebal dalam menghadapi musuh. mandau dan penyang adalah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan turun temurun dari leluhur.
 
 
Sumpit, senjata tradisional Dayak
 
Sumpit atau lebih dikenal di daerah Kalimantan Tengah dengan sebutan sipet adalah salah satu senjata yang sering digunakan oleh suku Dayak maupun oleh masyarakat Melayu. Dari segi penggunaannya sumpit atau sipet ini memiliki keunggulan tersendiri karena dapat digunakan sebagai senjata jarak jauh dan tidak merusak alam karena bahan pembuatannya yang alami. Dan salah satu kelebihan dari sumpit atau sipet ini memiliki akurasi tembak yang dapat mencapai 218 yard atau sekitar 200 meter.
Dilihat dari bentuknya sumpit, sumpit memiliki bentuk yang bulat dan memiliki panjang antara 1,5-2 meter, berdiameter sekitar 2-3 sentimeter. Pada ujung sumpit ini diolah sasaran bidik seperti batok kecil seperti wajik yang berukuran 3-5 sentimeter. Pada bagian tengah dari sumpit dilubangi sebagai tempat masuknya damek (anak sumpit). Pada bagian bagian atas sumpit lebih tepatnya pada bagian depan sasaran bidik dipasang sebuah tombak atau sangkoh (dalam bahasa Dayak). Sangkoh terbuat dari batu gunung yang lalu diikat dengan anyaman uei (rotan).

Jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat sumpit pada umumnya adalah kayu tampang, kayu ulin atau tabalien, kayu plepek, dan kayu resak. Tak ketinggalan juga tamiang atau lamiang, yaitu sejenis bambu yang berukuran kecil, beruas panjang, keras, dan mengandung racun. Tidak semua orang memiliki keahlian dalam membuat sumpit atau sipet. Di Pulau Kalimantan saja hanya ada beberapa suku saja yang memiliki keahlian dalam pembuatan sumpit, yaitu suku Dayak Ot Danum, Punan, Apu Kayan, Bahau, Siang, dan suku Dayak Pasir.
Dalam proses pembuatan sumpit atau sipet dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama ketrampilan tangan dari sang pembuat. Cara kedua, yaitu dengan menggunakan tenaga dari alam dengan memanfaatkan kekuatan arus air riam yang dibuat menjadi semacam kincir penumbuk padi. Harga jual sumpit atau sipet telah ditentukan oleh hukum adat, yaitu sebesar jipen ije atau due halamaung taheta.
Menurut kepercayaan suku Dayak sumpit atau sipet ini tidak boleh digunakan untuk membunuh sesama. Sumpit atau sipet hanya dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti berburu. Sipet ini tidak diperkenankan atau pantang diinjak-injak apalagi dipotong dengan parang karena jika hal tersebut dilakukan artinya melanggar hukum adat, yang dapat mengakibatkan pelakunya akan dituntut dalam rapat adat.

Rabu, 19 Oktober 2011

Sakit gulu

TOKO” SAKIT GULU”
Hati-hati jika masuk kedalam toko ini ,sebab bisa menimbulkan sakit pada leher anda !

Toko “Sakit Gulu” milik H.Acun di desa Tibung Kab.Hulu Sungai Selatan,Kandangan sangat unik dan berjalan Sukses.Toko ini bergerak dalam bisnis kecil berupa jualbeli berbagai barang bekas suku cadang kendaraan bermotor.
Nama Toko”Sakit Gulu,” membuat orang penasaran dan bahkan tersenyum,sebab nama itu dalam bahasa Banjar mempunyai arti sakit leher.”Para calon pembeli bisa sakit gulu(leher)Ketika berusaha melihat-lihat barang yang kami pajang ditoko ini,sebab begitu banyaknya hingga sampai digantung. Leher mereka menjadi lelah bahkan sampai terasa sakit,”kata pemilik toko samabil tertawa kecil.

Bisnis atau usaha kecil jualbeli barang bekas suku cadang kendaraan bermotor yang ditekuni oleh H.Acun sangat terkenal di Hulu Sungai Selatan atau Kandangan.Usaha jual beli barang bekas suku cadang kendaran bermotor ini telah ia geluti sejak tahun 1986,membuatnya sukses .Ia telah berhasil menciptakan lapangan kerja dan mempunyai beberapa karyawan.Usahanya yang sukses membuatnya mampu menunaikan ibadah haji.
Sementara itu Para pelanggan toko ini berasal dari kota Kandangan bahkan dari Rantau dan Barabai.Harga murah dan pelayanan yang baik adalah salah satu caranya dalam memikat para pembeli.Nama Toko “sakit Gulu,” juga menjadi sebuah nama yang lucu dan unik membuat mudah diingat oleh para pelanggannya.