Rabu, 19 Oktober 2011

KORUPSI DI SEKTOR PERTAMBANGAN

Di Indonesia, korupsi yang memiskinkan telah merambah berbagai bidang. Pengelolaan sumber daya alam tak terkecuali juga menjadi ajang korupsi. Ketika aktivitas penambangan sumber daya alam mengakibatkan kemiskinan yang luas di kalangan masyarakat sekitar lokasi tambang, pengungkapan kasus korupsinya justru masih amat lemah.
Dalam seminar nasional Kompas bertajuk ”Korupsi yang Memiskinkan”, Senin (21/2) di Jakarta, seorang pembicara, Laode Syarif dari Kemitraan, mengungkapkan hal tersebut. Seminar diselenggarakan dua hari sampai hari ini, Selasa (22/2).
”Sektor pertambangan mengandung potensi korupsi yang besar, namun pengungkapannya termasuk yang paling sulit,” ujar Laode Syarif.
Mengutip data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Laode mengungkapkan, pada periode Januari-Juni 2010, hanya ada dua kasus korupsi di sektor pertambangan yang terungkap. Sementara kasus di sektor keuangan daerah, terdapat 38 kasus korupsi yang terungkap.
”Ini aneh. Bahkan pembalakan liar saja sulit diungkap, padahal barangnya sedemikian besar, tidak seperti narkoba yang bisa disembunyikan. Pada sektor pertambangan perkara-perkara korupsi menjadi sulit dibuktikan karena negara turut ambil bagian,” ujarnya.
Menurut Riza Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (Kiara), moderator pada sesi lainnya, dari 47 perusahaan yang masuk predikat hitam, artinya dalam praktik usahanya mereka tidak memedulikan kondisi lingkungan, 41 perusahaan berhubungan langsung dengan sumber daya alam.
Perusahaan berpredikat hitam itu di antaranya 15 perusahaan bergerak di perikanan, 13 di bidang perkebunan dan pertanian, 8 di sektor energi dan sumber daya mineral, serta 5 di sektor kehutanan.
Potensi korupsi
Laode menjelaskan, potensi korupsi dalam sebuah aktivitas penambangan di antaranya terdapat pada proses perolehan perizinan.
”Akibatnya, antara lain, peruntukan lahan dimainkan. Misalkan, lahan yang peruntukannya bukan untuk pertambangan, bisa diubah dan izin pun dikeluarkan,” kata Laode.
Di tingkat nasional, perizinan untuk aktivitas pertambangan bisa mengubah peruntukan taman nasional. Di tingkat daerah pemberian izin bagi galian C sering kali dikeluarkan secara tidak terkendali yang mengakibatkan lingkungan rusak parah dan tak jarang menyebabkan bencana.
Ironisnya, Laode menambahkan, ”Justru di wilayah-wilayah yang pertambangannya maju kemiskinan amat banyak terjadi.” Dia menunjuk pada daerah Papua dan Kalimantan.
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Institut Pertanian Bogor Handoko memaparkan nasib petani yang terkena dampak perubahan iklim sehingga mengancam penurunan produktivitas hingga 69,4 persen pada tahun 2050. ”Kondisi ini bisa menimbulkan ancaman pangan dunia karena ini terjadi di seluruh dunia akibat perubahan iklim global,” ujarnya. (ISW) sOURCE kOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar