Selasa, 18 November 2008

POLITIK DAN DISKRIMINASI

Naluri feodalimsme,kelas dan kasta itu tidak menjadi terkikis misalnya oleh pangalaman intelektual atau kesadaran demokrasi atau egalitarianisme.EMHA AINUN MADJID (Kompas,12/2/05)
Dalam rancangan undang-undang pemilihan umum ( UU No. 23 Tahun 2003 ) hasil revisi ,menyatakan syarat para calon presiden,wakil presiden,DPR dan DPD minimal berpendidikan S-1 sebagai persyaratan yang harus dimiliki .
Persyaratan itu muncul saat digelar konsultasi publik tentang penyempurnaan paket UU Bidang Politik oleh Departemen Dalam Negeri. Konsultasi ini dihadiri oleh semua parpol, baik parpol lama maupun parpol yang baru terbentuk.Dan disitu juga dihadiri oleh beberapa LSM(Kompas,14/3/2007)


Keruan saja persyaratan itu menuai kritik dimana-mana.Bahkan Dewan Pimpinan Daerah atau DPD meminta pemerintah untuk mencabut ketentuan tersebut.Wakil Sekjen Partai Bintang Reformasi Yusuf Lakaseng yang hadir dalam konsultasi tersebut menyatakan tidak ada relevansi pendidikan S-1 dengan kemampuan.Hal itu ia contohkan dalam berbagai sidang DPR .
Apalagi di zaman sekarang untuk memperoleh ijazah S-1 tidak sulit .Sebab sudah jadi rahasia umum bahwa ijazah dapat dibeli dengan mudah asalkan punya uang.Kita bisa lihat berbagai gelar kesarjanaan sekarang banyak sekali nempel di kalangan pejabat atau para calon peserta pilkada,tetapi gelar kesarjanaan tersebut tidak banyak membantu dalam menghadapi banyak masalah yang dipikul.
Semestinya kalau mau fair ,persyaratan minimal pendidikan S-1 tersebut harusnya berbanding lurus pada masyarakat pemilih .yaitu para pemilih ( popular voter ) dalam pemilu juga minimal berpendidikan S- 1 . Dengan begitu diharapkan perbaikan kualitas pemilih dan yang dipilih.Yang jadi pertanyaan apa pemerintah berani memberlakukannya hal semacam itu?
Kita berharap pemerintah untuk tidak menciptakan sebuah UU yang sifatnya kurang bijaksana.Contoh seperti PP No 37 / 2006 yang berakibat menimbulkan gejolak dan protes .Walaupun akhirnya PP tersebut direvisi tapi perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan ( DPRD ) tidak menjadi surut.
Sepertinya pemerintah menciptakan sebuah kasta baru dalam masyarakatnya,terutama dalam kesempatan berpolitik..Masyarakat yang tidak punya pendidikan S-1 merupakan marginalized atau terpinggirkan.Dengan kondisi tersebut masyarakat yang tidak memiliki pendidikan formal seperti S-1,menjadi hilang salah satu haknya yaitu kesempatan untuk dipilih dalam Pemilu.Dengan kata lain mereka sebagai masyarakat yang punya kasta atau kelas yang tidak punya hak untuk dipilih.Kenyataan seperti itu tentu tidak kita inginkan.
Pemerintah sepertinya tidak mempelajarai Sejarah dengan baik dan benar. Bangsa dan negara ini bangkit dari penjajah hingga meraih kemerdekaan bukan karena para pejuangnya berpendidikan S-1 (formal) tapi karena semangat Nasionalisme untuk memperbaiki kehidupan bangsa.Jadi janganlah pendidikan formal seperti yang disyaratkan jadi ukuran yang harus dipenuhi para calon.Tetapi cukup disyaratkan berpendidikan yang baik.Dengan begitu terlihat lebih arif dan bijaksana.Dan pihak yang tidak punya pendidikan formal seperti S-1 tidak menjadi masyarakat atau kelompok yang terpinggirkan dalam dunia politik ditanah air.
Pendidikan memang sangat perlu untuk memperbaiki kemampuan seseorang.Tetapi pendidikan itu tidak harus formal,seperti dengan memiliki S-1,S-2,S-3 dan seterusnya. Sebab banyak orang tidak punya pendidikan formal namun kemampuan lebih dari mereka yang berpendidikan formal .Sebut saja H.Adam Malik beliau tidak punya ijazah SD sekalipun untuk formalnya tapi kita bisa lihat berbagai prestasi beliau baik didalam maupun diluar negeri .Beliau sempat menjabat Menlu dan Wapres .
Adanya sinyalemen persyaratan minimal S-1 untuk sebuah jabatan politik bisa diartikan sebagai salah satu upaya untuk menjegal lawan politik.Kenyataan seperti itu sudah memakan korban Sys.ns misalnya, terlempar dari bursa pencalonan ketua Umum Partrai Demokrat karena persyaratan tersebut,padahal ia punya banyak pendukung .Walaupun ‘menerima” keputusan tersebut namun ia berkementar bahwa gelar kesarjanaan tidak ada hubungannya dengan kemampuan seseorang. Dan di akhir wawancara yang dipandu Rosiana Silalahi ia bercanda ns dibelakang namanya artinya non sarjana dan untuk itu ia berusaha memperbaiki pendidikannya.
Kearifan dan Kebijaksanaan dalam mengeluarkan sebuah UU sangat kita harapkan . Dengan demikian tidak timbul polemik dan perdebatan yang tidak perlu. Sehingga pemerintah tidak terusik dalam bekerja dan bekerja.Kalau terus mengelurkan kebijakan yang tidak populer dimasyarakat kita khawatir akan terjadi blunder bagi Pemerintahan SBY-JK.
Harapan kita tulisan ini dapat jadi masukan bagi pemerintah dalam menjaring aspirasi publik,terutama untuk segera menghapus ketentuan yang mensyaratkan pendidikan formal minimal S-1 bagi para calon tersebut.
WARUNG PILKADA



Oleh :Syahminan/Abau





Kita tahu dan mengenal Warung telekomunikasi,demikian juga warung internet.Begitu juga kita kenal dan tahu warung pojok ,tegal bahkan warung remang-remang.Lalu bagaimana dengan Warung Pilkada?








Meski Pemilhan Kepala Daerah(Pilkada)Kabupaten Tabalong masih cukup lama lagi,tapi suhu politik perlahan merangkak naik dan tidak dapat kita bendung.Diberbagai sudut kota dan desa pamplet,poster dan kalender bergambar kandidat /cabup ramai dibagikan dan dipasang,padahal pilkada masih cukup jauh.Dan mungkin ini Cuma bagian dari sosialisasi kepada masyarakat atau salam perkenalan para kandidat terhadap warga masyarakat Tabalong.

Pembagian dan pemasangan gambar serta kalender para kandidat/cabup tersebut akhirnya sampai juga ditempat umum yang menjadi pertemuan berbagai lapisan warga masyarakat,yaitu “ warung” .Bagi Pemilik warung yang mau dipasangi gambar/poster oleh semua kandidat tanpa memihak disebut sebagai warung pilkada dan bagi yang memasang hanya salah satu kandidat/cabup saja, dan tidak mau yang lain maka ia disebut sebagai warung tim sukses .




Terlepas dari debat diwarung tersebut diatas ,ada beberapa hal yang patut kita ambil pelajaran.

pertama, masyarakat Tabalong sudah cukup dewasa ,cerdas dan kritis menyikapi pemilihan kepala daerah atau pilkada.

Kedua,Masyarakat juga mengetahui dan memahami tentang apa itu politik dan sebatas apa harus berkorban untuk hal itu,dan tidak lupa semangat kekeluargaan,persaudaraan dan ukhuwah islamiyah lebih didahulukan.

Harapan yang tersirat dari debat yang terjadi dimasyarakat diantaranya adalah,tidak terjadi kecurangan ketika terjadi pemungutan dan penghitungan suara.Tidak melakukan kampanye hitam atau Black campaigne,sebab itu bertujuan mengalahkan saingan tanpa kontes yang adil(fair).Dan Semua pihak dapat memelihara suasana yang aman dan kondusif diwilayah Kabupaten Tabalong sehingga masyarakat dapat menjalankan berbagai aktivitas dengan lancar serta Pembangunan didaerah ini tidak berjalan ditempat atau bahkan mundur.Siapapun yang terpilih harus kita dukung dan bantu dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur di daerah ini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar