Oleh DR. MS. Shiddiq, M.Si
MEDIA PUBLIK
("Ayah, koq belum pulang?", tanya Faryz, lelakiku yang satu ini di ujung telepon. Umurmu baru lima tahun lebih saat ini. Tapi, pertanyaanmu menyiratkan kerinduan mendalam bagi kebersamaan kita).
Faryz, anakku. Ayah sudah tidak ingat seberapa sering kamu ulang pertanyaan itu. Tapi, aku, ayahmu ini, memahami kegelisahanmu, kegamanganmu sekaligus kerinduanmu yang sering tak bersamaku, di waktu-waktu indahmu.
Nak, maafkan ayahmu ini. Membayangkan saat-saat kenakalanmu, usilmu, candamu, tawa lucumu, kerianganmu, emosimu dan segalanya yang telah Allah berikan kepadamu, adalah rindu yang tak terkatakan.
javascript:void(0)
Maafkan ayahmu, kekasih kecilku. Suatu hari, mungkin bukan saat ini, kelak ketika ayahmu sudah tak lagi di sini, entah di sisi negeri tak bertepi, entah pada rumah lain di penghujung umurku, entah dalam kesepian dekap Ilahi, engkau akan tahu betapa aku menyayangimu, lebih dari yang engkau tau.
Ayahmu ini, sayangku, bukan ayah sempurna. Diriku ini bukanlah dewa. Ayahmu adalah manusia biasa. Ayah hanya berusaha menyiapkan bekal terbaik di sisa umurku, buatmu dan kakak besarmu, Reihan. Kelak, saatnya kamu akan mengerti betapa sayangku melampaui batas-batas manusiaku, meski saat itu kamu, mungkin sudah kehilanganku.
Anakku, Faryz, seringkali di batas sunyi, seperti malam ini, seusai kusujud-rukukkan diriku, ketika airmata mata ini mengalir, ketika kata demi kata ini aku persembahkan buatmu, juga buat kakakmu, adalah saat-saat aku merenungi semua kekuranganku, yang belum bisa menjadi ayah sempurna buatmu, juga kakakmu.
Saat tak bersamamu, adalah kehilanganku. Kau, adalah amanahku. Yang acapkali tak sempat aku "haragu" dengan baik. Kalian berdua adalah anugerah terindahku. Menyapamu, sepulangku dari sibuk yang menjengkelkan. Ketika terjaga dari tidurku, membuatku ingin memelukmu sepanjang hidupku.
Lihat, anakku. Ayahmu ini sudah semakin senja. Mungkin juga tak lama lagi, ketika kau baca tulisan ini, sudah tiada. Mungkin diriku sudah tak bisa lagi menjaga pagimu. Memandikanmu. Merayu kebawelanmu. Saat ayahmu tak bisa menemani riangmu pada waktu-waktu yang engkau mau. Saat aku tak bisa melukis senyum bersama kebahagianmu. Saat kita tak bisa lagi merangkai mimpi. Betapapun aku ingin selalu mendampingimu. Bersisian, berjalan menuju Allahku, Allahmu, Tuhan kita yang Maha Menyayangi itu.
Tuhanku, Allahku yang Maha Menyayangi. Engkau pasti tahu apa yang kuingini. Di sini, malam ini, ketika kata-kata ini kurangkai, ketika air mata ini tak terbendungkan, ketika kusadari betapa kusadari kekuranganku. Betapa nistaku. Mohonku, ampuniku, bimbing aku 'tuk bisa jadi yang terbaik buat anak-anakku. Bimbing aku agar bisa mengajak mereka hanya kepada-MU, dengan segenap cinta kasihku.
Wahai, Allahku yang Maha Mengerti. Pahamkanlah mereka, anak-anak dan istriku, bahwa aku ingin sekali menjadi yang terbaik buat mereka. Di kesibukanku. Di tengah-tengah rapatku. Di dalam perjalananku. Di sepanjang langkahku. Di penuh sesak kota-kota besar yang kusinggahi. Di setiap resto yang kusambangi. Di hilir mudik manusia-Mu. Di kebisingan lalu lintas. Di tengah kemacetan yang menyesakkanku. Dan, di dalam setiap bait doa yang kupanjatkan kepada-Mu, buat mereka.
Duhai Allahku. Di setiap pagi dan petangku. Di sudut gelap malam-Mu. Di kesunyian yang kau selipkan disanubariku. Di setiap helaan nafasku. Maafkanlah segala dosa dan kesalahanku. Ampunkanku atas hilafku.
Kepada engkau, Faryz anakku. Aku, ayahmu ini memang belum menjadi ayah terbaikmu. Aku belum bisa menjadi teman dalam setiap candamu. Ayah belum bisa menjadi sahabat dalam suka dukamu. Ayah belum bisa menjadi pendengar di setiap curhatmu. Ayah belum bisa menjadi pemain musik hidup dalam setiap dendang lagu yang kau nyanyikan. Ayahmu ini belum bisa membuatmu bangga. Menjadi ayah yang kau damba.
Tapi, ketahuilah, wahai anakku. Jauh dari hatiku, dari tempat yang Allah SWT dapat membolak-balikkannya setiap waktu. Aku ingin menjadi surga bagi kesedihanmu. Aku ingin menjadi sejuk dalam setiap laramu. Aku ingin menjadi Malaikat penjaga bagi setiap langkahmu. Aku inginkan sayangmu, setiap waktu, kepadaku. Meskiku 'tlah menjadi tanah, di liang kuburku. Maafkanku, anakku! Kau, selalu ada bersamaku, sepanjang hidupku. Di setiap doaku. Akulah malaikatmu, anakku!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar