MEDIA PUBLIK - KALIMANTAN. Beberapa laporan yang masuk dan hasi investigasi kelapangan LSM LEKEM KALIMANTAN ternyata bau korupsi di sektor perkebunan dan pertambangan di Kalimantan, termasuk Kalbar, sejatinya bukan hal baru. Sejak bertahun-tahun lalu, telah menjadi rahasia umum. Negara konon merugi mencapai Rp 9 triliun
Laporan demi laporan, baik warga maupun lembaga swadaya masyarakat bak nyanyian pilu. Tak mampu menembus meja penyidikan Kejaksaan maupun Polri, apalagi masuk pengadilan. Yang mengejutkan, nilai kerugian negara mencapai Rp 9.146.223.897.000.
Relatif fantastis, hampir 4,5 kali lipat lebih besar dibanding APBD Tahun 2011 Kalbar yang hanya sekitar Rp 1,8 triliun. Praktik korupsi ini juga sebagian besar terjadi di Bumi Khatulistiwa. Yakni, di Kabupaten Ketapang, Sambas dan Bengkayang.
Satu kabupaten lainnya, Seruyan, Kalimantan Tengah. Nilai kerugian negara itu dihitung menggunakan tiga metode. Nilai kerugian negara dari tegakan kayu yang hilang, persentase nilai kerugian negara dari penerimaan provisi sumber daya hutan, dan penerimaan dana reboisasi.
Tercatat tujuh perusahaan yang diduga melakukan aktivitas penyerobotan kawasan hutan demi kepentingan bisnis kelapa sawit di Sambas, Ketapang dan Bengkayang.
Di Seruyan, bahkan teridentifikasi oknum pejabat yang mendirikan perusahaan-perusahaan "boneka" kemudian diberi izin lokasi, konsesi kehutanan. Bagaimana praktik korupsi ini tak tersentuh hukum?
Bumi Kalimantan yang dikaruniai Tuhan kekayaan alam melimpah, baik hutan, aneka tambang dan sawit, tak ubahnya gula teramat manis bagi semut-semut berkepala koruptor. Siapapun yang memiliki akses dan kewenangan, cenderung berburu harta alamiah ini.
Kerusakan lingkungan akibat illegal logging, illegal mining, eksploitasi sumber daya alam besar-besaran telah membuat bopeng hampir seluruh Bumi Kalimantan. Fakta ironis bagi kehidupan konkret segenap rakyat Kalimantan yang tak menunjukkan tanda-tanda peningkatan derajat kesejahteraan, apalagi kemakmuran.
Kemiskinan di Kalimantan, termasuk Kalimantan Barat tidak terkurangi secara signifikan. Tak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan sirnanya kekayaan hutan, sawit maupun tambang. Ingar-bingar penyergapan KPK terhadap oknum kepala daerah, pejabat dan pengusaha, bak anjing menggonggong kafila berlalu.
Korupsi jalan terus, bahkan semakin menggurita. Praktik haram di balik bisnis perkebunan ini, kian menjadi-jadi menyusul celah menganga UU Perkebunan yang relatif lemah menangkal kerusakan lingkungan, kerugian negara hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Kongkalikong pebisnis dengan oknum penguasa, pemilik otoritas wilayah perkebunan, telah melahirkan pembiaran operasi perkebunan tanpa izin, mark up pengadaan bibit sawit, bisnis perkebunan sawit fiktif, manipulasi pajak hingga suap di balik perizinan.
Cambuk getir bagi aparatur penegak hukum di Kalimantan, khususnya Kalbar. Sungguh aib besar, manakala KPK kelak mampu membuktikan dan menyeret parapihak di balik gurita korupsi ini.
Lazimnya, Kejaksaan yang mengemban tugas melekat di bidang tindak pidana khusus, ambil bagian di garda depan pemberantasan korupsi. Kepolisian yang masih memiliki kewenangan dalam pidana khusus juga tak patut berpangkutangan.
Saatnya berpacu mengoptimalkan keutamaan tugas penegakan hukum di Kalbar, terutama kejahatan korupsi yang telah ditetapkan sebagai musuh bangsa. Kita percaya Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar yang baru, Jasman Panjaitan dan Kapolda Kalbar Brigjen Sukrawardi Dahlan mampu membongkar dugaan korupsi ini.
Integritas, kredibilitas, kapabilitas, bahkan kecerdasan spiritual kedua pejabat ini tak diragukan. Semoga Kejaksaan dan Polda Kalbar "lebih cepat," dan tak ketinggalan kereta KPK dalam membabat habis korupsi perkebunan sawit di Kalbar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar