MEDIA PUBLIK - JAKARTA. Aliansi Masyarakat Sipil untuk Advokasi dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia menilai pemerintah telah berbohong terkait kasus Ruyati binti Satubi, TKW yang dihukum mati di Arab Saudi pada Juni lalu. Penilaian itu diungkapkan Aliansi setelah melakukan investigasi kasus tersebut di Arab Saudi pada 11-20 Agustus 2011.
"BNP2TKI telah melakukan kebohongan, karena sebelumnya menyebut bahwa makam Almarhumah Ruyati berada di Ma'la. Namun hasil temuan kami membuktikan lokasi makam Almarhum ada di Sarai' Mekah, sesuai nomor registrasi pemakaman 350, Kav 25 urutan ketujuh dari sisi kanan, dan ketiga dari belakang," ujar Ketua Tim Investigasi, Alai Nadjib, saat melakukan konferensi pers di Kantor Migran Care, Jakarta, Selasa (27/9/2011).
Selain itu, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Arab Saudi maupun Konsulat Jenderal Republik Indonesia juga dinilai telah melakukan pengabaian informasi. Pengabaian itu, kata Alai, terkait informasi hukuman pancung yang diakui pemerintah baru diberitahu setelah pelaksanaan eksekusi Ruyati.
"Berdasarkan hasil investigasi kami, minimal satu minggu sebelum qishas itu dilakukan, selalu ada pemberitahuan terperinci melalui televisi dan media setempat, tentang identitas, jenis kelamin, asal negara, dan bentuk kesalahan terpidana sebelum eksekusi dilakukan," kata Alai.
Ia mengungkapkan, pada saat proses persidangan, ternyata diketahui Ruyati hanya didampingi oleh seorang penerjemah, bukan seorang pendamping hukum yang bisa memberikan pembelaan hukum terhadap kasus yang dihadapinya. Penerjemah itu adalah staf KJRI yang hingga kini identitasnya masih disembunyikan.
"Dan penjelasan mengenai pernyataan KJRI yang telah mengirimkan surat kepada lembaga rekonsiliasi di Arab Saudi untuk meminta agar keluarga memberikan ampun kepada Ruyati juga tidak dapat dibuktikan. Begitu pula dengan nota protes diplomatik atas eksekusi Ruyati yang hingga kini belum diketahui kebenarannya karena sampai saat ini belum diberikan kepada keluarga korban maupun tim advokad dalam bentuk surat fisik," papar Alai.
Menurut Alai, hingga kini pun KBRI dan KJRI telah mengabaikan hak dasar keluarga Ruyati, karena hingga saat ini belum mengantongi berkas perkara pengadilan Ruyati dengan alasan masih dalam proses pengajuan.
"Padahal sudah tiga bulan kasus ini berlalu. Ini adalah bentuk pengabaian dan contoh lemahnya kedua lembaga itu terhadap kasus-kasus TKI kita yang bermasalah di sana," kata Alai.
Oleh karena itu, Alai meminta pemerintah untuk segera melakukan restrukturisasi dan reformasi jajaran KJRI maupun pejabat-pejabat terkait yang telah melakukan kebohongan publik tersebut. Ia juga mengharapkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki kepekaan dan perhatian yang tinggi terhadap TKI yang bekerja di luar negeri, khususnya di Arab Saudi.
"Pemerintah harus lebih transparan dan memberi informasi secara terbuka dan seluas-luasnya terkait dengan nasib 42 TKI yang tengan menghadapi vonis qishos di Arab Saudi," ujar Alai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar